“Sebaiknya tiap- tiap orang bersuaha memiliki hati yang senantiasa bersyukur, lidah yang selalu berdzikir, dan punya istri istri yang selalu membant dan mendorong dalam hal akhirat”. (HR.Imam Ar Rakhawi, melalui Abu Hurairah ra.)

“Ingatlah!!! Kita bukanlah Tuhan yang kuat dengan kesendirian-Nya, Kita adalah umat yang akan kuat jika dalam keberagaman terdapat kebersamaan, dalam jama’ah yang rapi, cerdas dan tangguh”

Seorang teman akhwat bercerita ; “Dik, Usia mbak sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menikah, orang tua juga sering menanyakan kapan mbak menikah. Sekarang sudah ada yang ingin serius melamar, tetapi dia bukan “Aktivis”, saya ragu- ragu menerimanya.

Saya mencoba bertanya apa yang membuat ragu. Ia menjawab, “Bagaimanapun, lelaki itu Qowwam, ia pemimpin rumah tangga. Saya merasa tak sanggup mempengaruhi, malah saya yang akan dipengaruhi. Saya khawatir akan tidak seaktif lagi bahkan akan hilang dari orbit da’wah dan juga mbak sebagai seorang “figur senior” marasa kurang enak dengan adik- adik pengajian.”

Semakin lama, kepak sayap da’wah ini semakin melebar ia mnyentuh banyak kalangan dan ia membuka lebih banyak peluang untuk melihat secara nyata. Tak luput juga para aktivis da’wah, tetapi keputusan menikah akan berdampak negatif bagi da’wah jikalau tidak dilandasi dengan semangat dan kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual.

Tentu saja, ada efek negatif dan positif. Positifnya, peluang da’wah akan makin banyak terbuka, jejak Ummu Sulaim yang “mendidik” Abu Thalhah menjadi pejuang tangguh. Efek negatifnya, seperti apa yang dikhawatirkan teman akhwat di atas, pasti akan ada hambatan dalam da’wahnya. Ibaratnya, bila masing- masing penghuni rumah memiliki orientasi berbeda, maka timbulah “Miss Comunication”, misalnya “Seorang istri yang sedang sakit akan berangkat “Ngaji”, karena ia merasa akan sembuh dan punya semangat baru bila pulang dari ngaji. Tetapi sang suami, karena tak pernah mengalami seperti apa esensi ngaji itu, tentu saja ia melarangnya. Logika kemanusiaan mengatakan, ini wajar, orang yang sakit harus diam dan beristirahat, ini hanya salah satu contoh kasus saja.

Memang, kondisi ideal mengharapkan seorang akhwat menikah dengan ikhwan. Karena pasca menikah mereka tak susah payah menyamakan visi, misi dan orientasi hidup. Produktivitas da’wah diharapkan akan meningkat dengan dipersatukannya mereka. Akan tetapi hal ini akan menjadi masalah besar bila pasca menikah ternyata hasilnya malah menurun ibarat kata sudah loyo. Hal ini akan berdampak buruk bagi lingkungan da’wahnya, khusus yang masih lajang akan berfikir dua kali untuk melaksanakan yang namanya pernikahan, sehingga salah satu tujuan sebagai “motivasi” malah menjadi bumerang dan ini kenapa terjadi ?

Seperti apa yang dikatakan Nurul Hidayati Kusumahastuti (Istri dari Al-Muzammil Yusuf), tak sedikit para aktivis setres pasca menikah karena mereka tidak mempersiapkan diri untuk berumah tangga sambil berda’wah. Sebelum menikah, katannya, Fokus ngaji, kuliah, bekerja. Ketika menghadapi cucian menumpuk, anak rewel, rumah berantakan, mencari nafkah, mereka bingung dan tidak terampil menatanya.

Pada akhirnya, keberlanjutan da’wah adalah sesuatu yang sangat penting dalam perjalanan hidup seseorang, meskipun ia mengalami perubahan status (menikah) dan itu sulit dicapai sendirian. Jadi tetaplah bergabung dalam dunia da’wah.

Yakinlah, Alloh ada pada persangkaan hamba-Nya. Ia selalu senantiasa memberikan yang terbaik dan menjawab semua permohonan, mintalah hanya kepada-Nya.

Laa Tahzan ya achie wa uchtie !!! Tetap semangat ya ach, inilah perjuangan ummat yang sebenarnya. Kelelahan kita akan dihitung dengan kebaikan disisi-Nya, perkuat keshobaran. Semoga Alloh pegang kita kuat- kuat disisi-Nya.[]CTR Andika

Reference: – Majalah Saksi

Kiat Memilih Jodoh, Ust. Fatihudim Abulyasin.